Saudah binti Zam’ah, Wanita Gemuk Berjiwa Periang

Daftar Isi [Tutup]


    Sudah gilakah Muhammad, tuduh sebagian orang Makkah ketika Rasulullah saw menikahi Saudah binti Zam’ah. Pernikahan itu membuat gempar masyarakat Makkah. Bayangkan, meski seorang janda, Saudah bukanlah janda kembang yang menarik. Sebagai janda tua, sama sekali ia tidak menyisakan kecantikan di masa mudanya. Punya anak lagi.

    “Apakah wanita semacam itu pantas untuk menggantikan posisi Khadijah? Padahal, banyak wanita lain yang lebih layak menggantikan Khadijah, baik dari segi kecantikannya, martabatnya, kekayaannya, maupaun usianya,” kata mereka.

    Pendapat itu betul. Memang kehadiran Saudah bukan untuk menggantikan posisi Khadijah. “Aku mengawinin Saudah kerena dia adalah janda pahlawan yang perlu di santunin,” alasan Nabi.

    Memang tidak ada satu sumberpun yang menyebutkan bahwa Saudah adalah cantik molek, berharta banyak, atau memiliki kedudukan yang memberi pengaruh dorongan hasrat duniawi dalam perkawinannya dengan Nabi. Nabi mengawini Saudah dengan maksud agar pejuang-pejuang
    muslim lainnya mengetahui bahwa jika mereka gugur untuk agama Allah, istri-istri dan anak-anaknya tidak akan dibiarkan hidup sengsara dalam kemiskinan. Banyak Muslim lainnya yang siap akan merawatnya.

    Rasulullah memberikan contoh konkrit, bahkan ssampai rela mengawini janda syuhada’ itu. Sebagai pemimpin, beliau harus memberi contoh lebih dulu. Bagi Saudah perkawinan dengan Rasulullah itu adalah satu kehormatan yang tiada tara. Selain itu, dengan perkawinan akan meringankan beban hidupnya sebagai janda yang menanggung anaknya.

    Sebagai wanita, ia selalu rendah hati. Sama sekali tak terkecoh dengan kedudukan tinggi suaminya, Rasulullah. Ia menyadari bahwa sebagai istri, dirinya sudah tua. Tak menarik lagi hati suami. Badannya gemuk, hingga tampak berat jika berjalan. Walau begitu, dia berjiwa periang. Bahkan sering ucapannya menimbulkan gelak tawa orang yang mendengarnya. Tanpa ragu-ragu, Saudah meyakini bahwa apa yang diterima dari Rasulullah suaminya adalah belas kasihan, bukan kemesraan sebagaimana yang diperoleh istri kepada suaminya itu. “Aku telah puas, Rasulullah mengangkat diriku sebagai istri dengan kedudukan semulia ini,” kata Saudah jujur.

    Karena itu, ia menerima apa adanya tentang dirinya sebagai istri Rasulullah. Bahkan giliran untuk dirinya sebagai istri, dengan ikhlas diserahkan untuk ‘Aisyah madunya. Ia sudah merasa puas bisa tinggal di tengah keluarga Nabi, mengurus rumah tangganya, melayani serta membantu putra-putrinya. Ummi mu’miniin ini berusia panjang, dan baru wafat di zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.



    Hijrah Pertama

    Sakran bin Abdus Syams bin Abdi Wudd al Quraisy al Amiry, adalah masih sepupu Saudah sendiri. Seorang lelaki yang cukup gigih mempertahankan keislamannya dari penindasan dan pengejaran Quraisy. Sebagai Islam pemula, pasangan itu merasakan betapa pahit-getirnya perjuangan menjadi Islam yang penuh siksaan dan penderitaan. Karena tak kuat lagi menderita cacian dan siksaan, keduanya hijrah ke negeri Habsyah atau Abisinia atas saran Nabi.

    Peristiwa hijrah pertama itu terjadi tahun 615 M. waktu itu ada delapan orang Bani Amir yang hijrah meninggalkan kampung halaman berjalan kaki menelusuri gurun sahara yang panas terik serta mengarungi lautan menuju Habsyah. Di antara mereka itu ada Malik bin Zam’ah bin Qais bin Abdusy Syams yang masih saudara sepupu Saudah. Juga Sakran bin Qais bin Abdusy Syams al Amiry, saudara sepupu dan suami saudah. Lalu Salith dan Hathib dua anak lelaki Amir bin Andus Syams, serta Abdullah bi Suhail bin Amr saudara seppupu Sakran. Tiga dari delapan Muhajirin itu, diikuti istrinya masing-masing, yakni Saudah binti Zam’ah, Ummu Kaltsum binti Suhail, dan Umrah binti al Wuqdan. Semuanya adalah cucu-cucu Abdusy Syams.

    Mereka pergi ke Abisinia yang selama ini belum pernah dikenalnya. Hidup di negeri orang yang bukan serumpun dan berseketurunan, lain bangsa, lain budaya, dan lain pula bahasanya. Itulah tantangan berat yang dihadapi Saudah beserta suaminya di perantauan.

    Bahkan, nasib malang masih menimpanya dengan cobaan lebih berat. Dalam perjalanan kembali ke kampung halaman di Makkah, sakran meninggal dunia dan dimakamkan di Makkah. Bisa dibayangkan betapa berat penderitaan Saudah sepeninggal suaminya, hidup tak ada lagi tempat berpijak dan bergantung. Akan tetapi, wanita itu begitu mulia, semulia suaminya yang wafat sebagai syuhada’.

    Betapa merananya Saudah yang terpaksa mengasuh seorang anaknya, sementara Zam’ah ayahnya sudah tua renta. Wanita semacam inilah yang dinikahi Nabi hanya semata-mata karena pertimbangan untuk menyantuni para janda pahlawan. Saudah adalah wanita yang setia. Janda pahlawan yang begitu tabah mengalami segala penderitaan dan cobaan. Jika karena itu, Muhammad kemudian mengawininya untuk memberi perlindungan dan memberikan tempat setaraf ummul mu’minin, sungguh beliau pantas mendapatkan pujian dan penghargaan atas pengorbanannya.

    1 comment: