Kemampuan bicara si kecil yang makin meningkat tentunya sangat menggembirakan kita. Namun sejalan dengan itu, kita pun bisa dibuat kesal karena si kecil kini mulai pintar cari-cari alasan. Kala disuruh makan, misal, ia berkelit dengan mengatakan mulutnya sakit; atau, saat disuruh tidur, eh, ia malah minta makan. Pokoknya, ada saja alasannya untuk menolak!
Menurut Dra. Rahmitha P. Soendjojo, perilaku si kecil yang demikian lebih disebabkan perkembangan sosialnya. “Ia mulai menyadari dirinya. Ia tahu dirinya bahwa aku berbeda dengan orang tuaku, aku pun punya kemauan; bahwa aku maunya makan, kok, bukan tidur.” Dari situlah ia akhirnya mengemukakan hal-hal yang kita anggap sebagai alasan untuk tak melakukan apa yang kita inginkan atau kita suruh.
Terlebih lagi di usia ini si kecil juga amat senang mengatakan “enggak” hingga terkesan membangkang. Namun membangkangnya bukan seperti yang kita kenal pada anak yang lebih besar atau orang dewasa dalam arti ke arah yang tak benar, melainkan sebagai cara ia belajar, “Kalau aku menolak, apa, sih, yang bakal terjadi?” Bisa saja, kan, setelah si kecil menolak, kita marah-marah. Nah, dari situ ia belajar, “Oh, ternyata aku nggak bisa mengeluarkan alasan seperti itu, Bunda jadi marah.”
PERINTAHNYA TAK JELAS
Bisa juga, perilaku si kecil yang demikian berkaitan dengan intelektualnya yang makin berkembang. Ketika ia mengatakan, “Aku mau dibacakan cerita,” saat disuruh tidur, berarti, kan, nalarnya sudah jalan. Ia sudah bisa mengemukakan apa yang diinginkannya.
Tak tertutup kemungkinan, alasan yang dikemukakan si kecil merupakan caranya untuk menarik perhatian kita. “Makanya orang tua juga harus melihat kemungkinan lain dan introspeksi diri. Kalau dirinya sibuk sekali, tak pernah ada di rumah, hingga kala berada di rumah, anak sering membuat ulah dengan mencari-cari alasan, maka bisa jadi hal itu adalah caranya untuk mencari perhatian orang tuanya,” bilang Mitha, sapaan akrab psikolog pada DIA-YKAI, Jakarta ini.
Sebab lain, si kecil tak mau menjalankan perintah yang ditujukan kepadanya karena memang perintahnya enggak jelas. “Orang tua sering lupa dengan kemampuan anak dalam menangkap pembicaraan. Dia ngomong ke anak memakai bahasa orang dewasa.” Misal, “Kamu ini gimana, sih, baju sudah kotor begini masih dipakai terus. Cepat ganti dan baju kotornya taruh di mesih cuci.” Kalimat sepanjang ini tentu takkan dimengerti si kecil, “Bunda ini ngomong apa, sih?” Harusnya kita cukup bilang, “Ade, bajunya diganti karena sudah kotor,” atau “Ade, baju kotornya taruh di tempatnya.”
Jadi, jangan marah, ya, Bu-Pak, kalau si kecil tak bergeming kala diperintah melakukan sesuatu. Lihat dulu bagaimana cara kita berbicara dengannya, apakah sudah atau belum jelas bagi si kecil. Makanya, para ahli perkembangan anak selalu menganjurkan orang tua agar berbicara dengan bahasa sederhana kepada anak, sesuai daya tangkap anak seusianya.
Bisa jadi pula, perintah yang kita berikan adalah sesuatu yang berat buat anak tapi ia tak bisa menolaknya. Bukankah pada situasi yang tak menyenangkan dan tak jelas, biasanya anak cepat bosan? Hingga akhirnya dicarilah alasan, semata sebagai caranya untuk mengelak dari tugas yang dibebankan kepadanya.
Tentu saja hal ini tak boleh kita diamkan, karena akhirnya bisa menjadi kebiasaan: ia belajar menghindari tugas yang tak menyenangkan. Ini bisa berlanjut hingga tahapan usia selanjutnya, lo. Meski, diakui Mitha, kemungkinan tersebut masih terlalu jauh, mengingat anak batita masih dalam tahap berkembang kemampuan sosial dan intelektualnya.
PERHATIKAN KEBIASAANYA
Tentu saja, menghadapi si kecil yang pintar cari alasan-alasan diperlukan sikap bijaksana, bukan malah kita memarahi atau ngotot-ngotot dengannya. Yang terbaik, menurut Mitha, cari tahu apakah perilaku si kecil yang demikian karena ia memang sedang melewati tahapan perkembangannya
Caranya, perhatikan kebiasaan si kecil. “Jika memang karena perkembangannya
Namun bila perilakunya itu hanya berlaku pada hal-hal dan orang-orang tertentu, berarti ada relasi yang tak sesuai atau ada kebutuhan-kebut
Jika perilakunya ini sudah menjadi sesuatu yang di luar kemampuan kita dan kelihatan sekali kalau ia terlalu mencari-cari alasan, saran Mitha, kita perlu bertindak tegas. Jadi, kalau besoknya ia tetap tak mau juga menggosok gigi, katakan, “Kalau begitu, Ade tak boleh makan cokelat lagi, jadi tak perlu menggosok gigi lagi.” Dengan cara ini, kita menempatkan ia pada situasi yang proporsional. Ia jadi berpikir, “Wah, aku enggak bisa makan cokelat lagi, padahal aku suka sekali cokelat.” Hingga ia pun akhirnya tak bisa semena-mena mengemukakan alasan-alasan yang sangat tak beralasan.
Jadi, tak perlu buru-buru marah ataupun menuduh si kecil cuma cari-cari alasan, tapi kembalikanlah pada diri kita: apakah kita telah memfasilitasi semua kepentingannya?
JANGAN LUPAKAN RITUALNYA
Pendeknya, Bu-Pak, kita perlu menggali lebih lanjut tiap kali anak beralasan. “Pancing ia dengan pertanyaan-pert
Lagi pula, dengan kita “mencecarnya” lewat pertanyaan-pert
Selain tentunya kita pun harus melihat keadaan anak kala ia mengemukakan alasannya. Misal, mungkin ia tak mau tidur karena kurang nyaman dengan lampu yang menyala atau kipas anginnya terlalu besar atau AC-nya kurang dingin, atau karena siangnya ia sudah terlalu lama tidur. “Jadi, semuanya harus dilihat, jangan langsung menyalahkan anak,” tegas Mitha.
Termasuk ritual keseharian anak pun harus dilihat. “Jika setiap harinya sebelum tidur ia dibacakan buku cerita, misal, tapi kini ia langsung disuruh tidur, ya, jelas ia takkan mau.”
Bila ini yang terjadi, berarti kita harus tetap melakukan ritual tersebut, walaupun mungkin hanya satu buku cerita yang kita bacakan karena kita sudah kelewat lelah. “Oke, akan Bunda bacakan buku ceritanya, tapi satu saja, ya!”
Jika setelah itu, ia tetap belum mau tidur, saran Mitha, minta ia tetap diam di tempat tidur, tak boleh turun atau main lagi. “Tadi, kan, Ade sudah bilang iya untuk dibacakan satu buku cerita saja. Jadi sekarang Ade harus tidur.” Dengan begitu, secara tak langsung kita pun telah mengajarinya untuk bersikap konsekuen atas apa yang telah ia sepakati.
Kalau kita bisa tegas, bilang Mitha, tanpa kita harus melotot atau marah-marah pun, si kecil juga akhirnya akan belajar, “Oh, sekarang waktunya tidur. Apa pun alasan yang aku kemukakan,karen
Pendeknya, Bu-Pak, lakukan kompromi yang mendidik dari kita kepada si kecil, bukan kompromi yang selalu mentolerir segala sesuatunya. Dengan begitu, ia jadi tahu alasannya masuk akal atau tidak dan bisa atau tidak dilakukan. Jika pun tak bisa dilakukan, ia tahu kapan hal itu baru bisa dilakukan.