Mahram sendiri terbagi menjadi tiga kelompok, yakni
[1] mahram karena nasab (keturunan) :
1.Ibu, nenek dan seterusnya ke atas baik dari jalur laki-laki maupun wanita
2.Anak perempuan (putri), cucu perempuan
dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-
laki maupun wanita
3.Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu
4.Saudara perempuan bapak (bibi), saudara
perempuan kakek (bibi orang tua) dan
seterusnya ke atas baik sekandung, seayah
atau seibu
5.Saudara perempuan ibu (bibi), saudara
perempuan nenek (bibi orang tua) dan
seterusnya ke atas baik sekandung, seayah
atau seibu
6.Putri saudara perempuan (keponakan)
sekandung, seayah atau seibu, cucu
perempuannya dan seterusnya ke bawah
baik dari jalur laki-laki maupun wanita
7.Putri saudara laki-laki sekandung, seayah
atau seibu (keponakan), cucu perempuannya
dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-
laki maupun wanita
DALIL: “Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan,
saudara-saudara mu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan,
saudara-saudara ibumu yang perempuan,
anak-anak perempuan dari saudara-saudara
mu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari
saudara-saudara mu yang
perempuan…” (An-Nisa: 23)
[2] mahram karena penyusuan, juga
berjumlah tujuh golongan, sama dengan
mahram yang telah disebutkan pada nasab.
[3] dan mahram mushaharah (kekeluargaan
kerena pernikahan) :
1.Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan
seterusnya ke atas berdasarkan surat An-Nisa
ayat 23.
2.Istri anak, istri cucu dan seterusnya ke
bawah berdasarkan An-Nisa: 23.
3.Ibu mertua, ibunya dan seterusnya ke atas
berdasarkan An-Nisa: 23.
4.anak perempuan istri dari suami lain
(rabibah), cucu perempuan istri baik dari
keturunan rabibah maupun dari keturunan
rabib, dan seterusnya ke bawah berdasarkan
An-Nisa: 23.
Nomor 1, 2 dan 3 hanya menjadi mahram
dengan akad yang sah meskipun belum
melakukan jima’ (hubungan suami istri).
Adapun yang keempat maka dipersyaratkan
bersama dengan akad yang sah dan harus
terjadi jima’, dan tidak dipersyaratkan rabibah
itu harus dalam asuhannya menurut
pendapat yang paling rajih yaitu pendapat
jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullahu.
Selengkapnya di
http://uabdillaah.wordpress.com/2013/12/26/mengenal-mahram/